Mengapa kita sering sekali merasa sulit merutinkan sesuatu ?
Apalagi setelah tak punya suatu kegiatan yang mengikat, self learning jadi hal yang sangat menyulitkan bagi sebagian orang.
Apakah memang karena kurang azam, atau memang tanggung jawab yang sudah semakin banyak ?
Sebenarnya jawabannya adalah dua-duanya. Kurang azam iya, banyak tanggung jawab juga iya. Keduanya adalah paket kombo penghalang banyak hal dari target-target yang sudah kita tuliskan. Jadwalnya begini, tiba tiba muncul kesibukan ini dan itu. Dulu waktu masih berstatus pelajar, kita dengan mudah mengerjakan ini dan itu sesuka hati, menghafal, membaca, menelaah, menulis, apapun yang kita mau. Duh, nikmat sekolah dan fokusnya hati itu memang tidak ada duanya. Namun setelah kaki ini keluar dari lembaga pendidikan tertentu, sebutlah SMA, pondok pesantren, bahkan universitas, di sanalah tantangan itu benar benar terpampang nyata. Tanggung jawab untuk sekeliling semakin besar, kita bukan hanya berperan sebgai orang yang belajar, namun juga seseorang yang secara tidak langsung harus berkontribusi, setidaknya untuk pengembangan diri sendiri. Apalagi bila tanggung jawab yang sudah berat tadi ditambah dengan posisi kita di dalam keluarga, sebagai istri, suami, ibu atau ayah. Kita akan sulit sekali melakukan apapun itu yang sudah kita jadwalkan rapi-rapi, karena datangnya kejadian-kejadian kecil ataupun besar yang mau tak mau harus kita ladeni. Mengajar, mengurus rumah dan suami, mengurus anak-anak, dan banyak hal lain yang mungkin pada saat sekolah dulu tidak semudah itu merusak banyak jadwal kita. Karena memang, tanggung jawab kita belum ada saat itu.
Lalu, apa solusinya ? Bukankah bicara masalah saja tidak akan menyelesaikan masalah ?
Mari kita pikirkan solusinya.
Kuncinya ada dua, membuang dan berkorban.
Buanglah perkara-perkara tidak penting yang tidak memberi manfaat untuk dunia dan akhirat kita. Seperti scrolling hp kelamaan, gaming, haha hihi berjam jam tanpa ada manfaat apapun, nongkrong sana sini sambil ghibah ghibah tipis, melihat hal hal yang diharamkan, dst. Satu jam tanpa manfaat itu bisa kita gunakan untuk membaca 10 halaman Al-Quran yang pastinya akan menambah iman dan amal kita, seperti yang Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :
(( من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه )) رواه الترمذي وقال : حسن.
(( Termasuk tanda kebaikan seorang muslim adalah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuknya )). H.R At- Tirmidzi, derajat hadits ; hasan.
Kalau kita pegang saja hadits ini, kemudian imani dengan sempurna, maka tidak perlu lagi kita lelah mencari solusi atas banyaknya pekerjaan yang menumpuk dan tertunda. Cukup dengan mengilmui apapun itu hal-hal yang tidak ada manfaatnya, maka 24 jam itu akan selalu cukup, untuk mengerjakan apapun yang ingin kita kerjakan. Karena seluruh kuncinya adalah pada berkahnya waktu, bukan pada banyaknya. Dan berkahnya waktu kita dapatkan apabila kita dekat dengan Allah, dan kedekatan itu didapat dengan mengisi seluruh waktu kita dengan hal-hal yang dicintai-Nya.
Yang kedua adalah berkorban.
Berkorban untuk hal yang level pentingnya berada di dasar paling bawah dalam kegiatan-kegiatan kita. Atur skala prioritas, mana yang benar-benar penting kita kerjakan sekarang, mana yang bisa kita tunda sampai beberapa tahun ke depan, karena selain kerja keras, timing dalam menuntut ilmu dan beribadah juga sangat penting. Ketika semua hal kita rasa penting, ingatlah bahwa kita hanya manusia biasa yang punya kemampuan terbatas, tidak semua hal bisa kita kuasai dan kita tekuni dengan baik. Kita harus berkorban dulu saat ini, jangan egois sehingga menyusahkan diri sendiri.
Misal saat ini kita sedang dalam proses awal menuntut ilmu, maka fokuskan diri untuk menghafal dan berkorbanlah untuk tidak dulu membaca kitab kitab besar. Ini butuh pengorbanan, karena sungguh jiwa ini akan terus tamak terhadap ilmu, sehingga terkadang terburu-buru dan ceroboh. Kita akan selalu ‘ngiler’ melihat orang orang yang sudah ikut kajian kitab ini dan itu. Nah, di sini letak pengorbanannya, kita harus tau kapasitas diri, sehingga ilmu yang kita dapat mantap dan berisi.
Atau ketika kita melihat orang lain sudah aktif dalam berdakwah, ceramah sana-sini, menulis sana sini. Berkorban dulu, apabila kita memang belum mampu. Pahami kapasitas diri agar tak menyesal di kemudian hari. Untuk berbagi kita harus berisi. Mau memberi apa untuk orang lain bila kita sendiri belum mumpuni ?
Begitu seterusnya, akan ada pengorbanan-pengorabanan lain bahkan dalam dua hal yang sama baiknya. Karena kita terkadang harus pergi dulu, untuk kembali dan mengisi. Bila terlalu banyak ingin kita dalam satu waktu, bahkan pada hal-hal baik, kita akan cepat bosan dan menyerah, lalu mundur secara teratur dan sulit kembali lagi.
Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah sibuklah untuk terus memperbaiki diri sendiri daripada membandingkan pencapaian kita dan orang lain, ingatlah bahwa ilmu itu juga merupakan sebuah rezeki. Semua punya porsi dan bagian masing-masing. Yang diminta dari kita hanyalah usaha yang kita perlihatkan pada Rabbul ‘alamiin. Yang perlu kita perbaiki adalah kebagusan dan keikhlasan niat kita. Karena percayalah, apabila jujur niat kita pada Allah, Allah pasti akan bukakan pintu pintu ilmu dari arah yang tak pernah kita bayangkan.
Bagaimana niat yang jujur ? Apa indikasi niat yang ikhlas dan tulus ?
Adalah apabila kita beramal dan kita tidak ingin ada mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan lisan yang memuja. Kita suka beramal dalam diam, mengharap apa yang ada di sisi Allah semata. Kita benci apabila manusia mulai mengelu elukan nama kita, jangan sebut bila kita yang memulai menampakkan amalan tersebut di hadapan manusia. Kita berilmu untuk amal, bukan untuk mengisi akal saja agar dikatakan alim ulama. Kita berilmu agar dapat menjadi lebih dekat kepada Allah, lebih disayangi dan dicintai Allah, agar kita tau mana hal yang Allah cinta, dan mana yang dibenci-Nya.
Tiap hadits yang kita dengar, kita segerakan amal dan dakwahnya. Tiap nasehat yang kita terima, kita segerakan prakteknya. Tiap larangan yang kita dapatkan, kita segerakan hentinya. Karena itulah tujuan kita menuntut ilmu, untuk memperindah ibadah dan penghambaan diri kita kepada Allah.
Ingatlah tujuan awal kita berbenah, apa motivasi dan ingin kita sehingga memilih jalan untuk berubah. Pegang terus tujuan itu dan teruslah berjalan. Dunia ini singkat, pengorbanan di dalamnya pun tak seberapa dibanding apa yang dijanjikan Allah pada hidup yang kekal nanti di akhirat. Berlelah - lelahlah dahulu, dalam doa, rintih, dan usaha. Jatuh-bangunlah dahulu, dalam istighfar dan sholat malam, dalam pinta pada Allah agar dituntun menuju jalan yang lurus, agar tak dilencengkan setelah diberikan hidayah oleh-Nya, agar dikumpulkan bersama orang-orang sholih, agar dapat mencontoh mereka dalam ilmu dan amal, agar dimatikan dalam keadaan husnul khotimah, agar diberikan kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat...Mintalah pada Allah keistiqomahan karena kita terlalu lemah untuk bertahan di era fitnah, mintalah pada-Nya kekuatan karena tak ada daya kita melawan nafsu syahwat dan syubhat.
Semoga Allah memudahkan jalan kita dalam memurnikan tauhid dan ibadah kepada-Nya, menjadi hamba yang diridhoi dan dicintai-Nya, dan mendapatkan kebaikan serta kehidupan yang indah di dunia maupun di akirat..Amiin Yai Rabbal 'alamiin
Bukittinggi, 13 Dzulhijjah 1443 H.
Jazaakillaahu Jannah ustadzah 🤍
Baarakallahu fiiky ustadzah...
Ini yg sedang ana alami:(
Jazakumullah khayran ustadzah ... ahsanallahu ilaykum..