top of page
Search

“Dia sudah meni…”

Writer: jareeyaahjareeyaah

Ada pelajaran-pelajaran penting di pulang syita’i kali ini. Pulang singkat yang qaddarAllah karena satu dua alasan harus mengorbankan sepekan penuh kbm kuliah. Salah satu di antaranya mungkin perlu diabadikan. Supaya tidak sirna ditelan masa begitu saja.

Namanya Gandung. Atau lebih sering saya panggil Mas Gandung. Bukan nama aslinya, tapi begitulah ia lebih dikenal. Mas Gandung ini teman main waktu kecil kalau saya pulang ke Semarang, ke kampung abi. Tempat minjem sepeda yang padahal waktu itu ketinggian, tapi ngakunya bisa bisa aja eh taunya jatuh di tengah jalan. Maklum, Mas Gandung punya perawakan tinggi besar, dulu. Sekarang, saya tak tau. Semenjak SMP saya sudah jarang sekali bertemu dia, bahkan hampir tidak pernah. Wajahnya bagaimana saja, sampai saat ini, saya lupa.

Sore itu, saya pulang dari kondangan saudara. Di jalan menuju rumah, tepatnya di gang menuju rumah kakek saya, tampak ibu Mas Gandung sedang menikmati udara sore Weleri bersama sang suami. Otomatis mobil berhenti, kaca jendela dibuka. Saya langsung menyalami beliau lewat kaca jendela. Tentu saja bersamaan dengan perkenalan singkat yang diutarakan nenek saya “Iki Intan, anae ***” karena beliau tak akan tau siapa yang sedang menyalaminya kalau tidak diperkenalkan. Saya juga jarang pulang ke kampung abi, sulit rasanya orang-orang untuk mengingat siapa saya.

“Ya Allah Intan…” kata beliau, raut wajahnya sulit dimengerti, tetapi daripada raut bahagia, itu lebih menunjukkan raut haru, kesedihan yang super dalam.

Kembali dulu ke hari – hari awal saya sampai di Semarang.

Seperti biasa, nenek serta anak cucunya ngumpul santai di ruang keluarga. Cerita-cerita. Walaupun terkadang diiringi susah payah translate jawa-indo oleh ayah saya. Punya darah keturunan jawa memang sama sekali tak menjamin bisa paham bahasa jawa.

Lalu sejenak hening sampai tiba tiba nenek saya nyeletuk

“Oiya Intan, Mas Gandung, sudah meni….”

Menikahlah yang ada di pikiran saya saat itu. Jeda seper sekian detik itu cukup untuk membuat saya sudah senyam senyum sendiri, memikirkan jenakanya Mas Gandung sekarang sudah punya istri, cukup juga untuk lidah saya bersiap siap mengucapkan kalimat selamat dan barakAllaah. Alhamdulillah kita sejak kecil selalu diajari tata krama agar tak menyela pembicaraan, walau sebahagia apapun, karena saat itu, saya bahagia, membayangkan Mas Gandung yang beda umurnya hanya satu tahun dengan saya itu sudah menikah, karena kalimat nenek saya saat itu belum selesai, saya menahan semua kebahagiaan itu.

“..nggal”

Ya Allah,

senyam senyum saya seketika hilang begitu saja, berubah menjadi genangan air mata yang malu-malu keluar. Kalimat kalimat selamat dan barakAllah tadi, tertelan lagi dengan paksa. Ah, apa ini? Sebegitu mudahnya Allah membolak balikkan keadaan, sebagaimana Dia dengan mudahnya membolak balikkan hati.

Itulah penyebab raut wajah ibu Mas Gandung sore itu begitu sedih. Bagaimana tidak? Bertemu saya tentu saja akan langsung mengingatkan beliau pada anaknya. Duh, saya teringat lagi wajah sendu itu..

Jeda singkat antara meni – kah dan meni – nggal benar benar punya pengaruh besar untuk saya, dan ternyata bukan hanya saya, ibu saya pun merasakan hal yang sama. Saya terhenyak cukup lama. Sembari berusaha keras mengingat rupa beliau, saya dan keluarga cepat-cepat mengucapkan kalimat istirja’. Lalu sayup sayup terdengar di telinga saya, kalau Mas Gandung rohimahullah meninggal karena kecelakaan tunggal. Livernya tak bisa diselamatkan.

Satu hal yang mendorong saya memutuskan untuk menulis cerita ini, adalah perubahan emosi saya yang begitu drastis saat menyimak perkataan setengah lengkap nenek saya. Bagaimana kabar menikah akan membuat saya begitu bahagia, lalu bagaimana kebahagiaan itu seketika sirna, bahkan bukan hanya sirna, namun juga berubah menjadi emosi sebaliknya, kesedihan. Lalu membuat kalimat-kalimat selamat tadi berubah menjadi beribu petuah dari diri sendiri untuk diri sendiri supaya intropeksi diri, karena kematian tak melihat umur sama sekali. Tak melihat kamu, sudah menikah atau belum. Sudah berkeluarga atau belum. Yang akhirnya membuat saya juga berpikir, bahwa lebih baik mempersiapkan dan memantaskan diri untuk menghadapi kematian daripada hanya memantaskan diri untuk dipertemukan dengan si dia.

Saya jadi merasa istilah memantaskan diri untuk menikah itu begitu kecil di hadapan kalimat memantaskan diri menyambut kematian, mengahadap Sang Khaliq.

Bukan tak boleh, malah dianjurkan, tapi ada hal penting juga ada hal sangat penting. Pantaskan diri untuk menyambut kematian, soal memantaskan diri untuk bertemu si dia, in sya Allah bakal ngikut.

Euforia menikah jangan sampai membuat kita lupa ada satu hal yang lebih pasti dari berkeluarga.

Ada satu hal yang sudah menunggu, namun sering kali dilupakan.

Bersiaplah untuk kematian, karena dia tak pernah pandang buluh.

Lewat Mas Gandung, Allah menyadarkan saya akan hal itu.

Menyadarkan karena sejatinya saya tau bahwa kematian itu pasti, namun..sering kali lupa dan lengah.

Semoga cerita Mas Gandung tidak hanya menyadarkan saya, namun juga pembaca sekalian, saudara saudari seiman yang in sya Allah budiman…

 
 
 

Recent Posts

See All

Sebelum Maut Menjemput…

Bismillaah.. Hari ini, sepulang kuliah, hati saya berdebar tak karuan, perasaan saya campur aduk, mata saya ingin menangis tapi entahlah,...

Membuang, Berkorban, dan Meminta.

Mengapa kita sering sekali merasa sulit merutinkan sesuatu ? Apalagi setelah tak punya suatu kegiatan yang mengikat, self learning jadi...

Comments


Post: Blog2_Post
  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2021 by jareeyaah. Proudly created with Wix.com

bottom of page